Penyebab Kebangkitan Gen Z di Nepal: Larangan Media Sosial, Korupsi & Keinginan Reformasi
- Kimi
- 19 jam yang lalu
- 6 menit membaca

Pada bulan September 2025, protes nasional berskala besar meletus di Nepal, terutama dipimpin oleh mahasiswa dan warga muda dari Generasi Z (lahir 1995–2010). Dijuluki "Protes Generasi Z", gerakan-gerakan ini awalnya dipicu oleh larangan menyeluruh pemerintah terhadap beberapa platform media sosial, tetapi pemicu utamanya adalah ketidakpuasan publik yang telah lama ada terhadap korupsi, pamer kekayaan oleh penguasa, dan tuduhan penyelewengan dana publik. Seiring dengan meningkatnya skala protes, tuntutan mereka meluas dari tuntutan awal akan kebebasan internet hingga mencakup isu-isu yang lebih luas seperti transparansi yang lebih besar dalam pemerintahan dan akuntabilitas politik. Bagian berikut menjelaskan alasan-alasan utama di balik pemberontakan yang dipimpin oleh pemuda ini di Nepal.
Pemicunya: larangan media sosial
Protes-protes tersebut dipicu langsung oleh blokade media sosial yang dilakukan pemerintah. Pada 4 September 2025, pemerintah Nepal tiba-tiba menutup 26 platform media sosial di seluruh negeri, termasuk Facebook, Instagram, YouTube, WhatsApp, X (Twitter), WeChat, dan LINE, di antara platform-platform populer lainnya baik di dalam negeri maupun internasional. Para pejabat mengklaim tindakan tersebut disebabkan oleh operator yang gagal mendaftar sebagaimana diwajibkan, tetapi banyak warga menganggapnya sebagai upaya untuk membungkam perbedaan pendapat daring dengan dalih kepatuhan. Blokade internet menyeluruh ini menjadi titik terakhir yang mematahkan kesabaran generasi muda, memicu protes oleh kaum muda di seluruh negeri dalam waktu kurang dari seminggu setelah larangan tersebut berlaku.
Patut dicatat, larangan tersebut diumumkan bersamaan dengan upaya pemerintah untuk mengesahkan rancangan undang-undang baru yang mewajibkan platform media sosial untuk mendaftar dan tunduk pada regulasi di Nepal, yang memperkuat kontrol atas konten daring. Akibatnya, banyak anak muda memandang larangan tersebut sebagai sinyal bahwa pemerintah membungkam suara generasi daring. Larangan media sosial tersebut secara langsung memicu kemarahan di kalangan anak muda, yang turun ke jalan dalam protes menuntut pemulihan kebebasan internet. Meskipun pemerintah dengan tergesa-gesa mencabut larangan tersebut setelah protes meletus, kemarahan telah menyebar, dan tuntutan mahasiswa dan anak muda mulai meluas dari sekadar isu daring menjadi ketidakpuasan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Ketidakpuasan yang terakumulasi di kalangan Generasi Z Nepal: korupsi dan nepotisme
Meskipun protes tersebut konon dipicu oleh pemblokiran media sosial, gelombang kemarahan Generasi Z ini bermula dari kebencian yang membara selama bertahun-tahun terhadap korupsi dan nepotisme pemerintah. Nepal telah dilanda gejolak politik sejak demokratisasi, dengan beberapa politisi senior berganti-ganti kekuasaan selama lebih dari satu dekade. Para pemimpin ini secara luas dipandang oleh generasi muda sebagai identik dengan korupsi dan memperkaya diri sendiri.
Kaum muda telah menyaksikan konsentrasi kekuasaan yang terus berlanjut di tangan sekelompok kecil keluarga elit, dan pamer kekayaan serta kemewahan yang ditunjukkan oleh anak-anak dari keluarga politik terkemuka telah memicu kemarahan publik. Para pengamat telah mencatat bahwa banyak anak pejabat tinggi memamerkan gaya hidup mewah mereka di media sosial, termasuk mobil mewah, tas desainer, dan liburan ke luar negeri, menciptakan kontras yang tajam dengan kehidupan masyarakat Nepal yang seringkali sulit. Bahkan, beberapa minggu sebelum pelarangan, platform seperti TikTok ramai dengan unggahan dan video yang mengungkap gaya hidup mewah "anak-anak nepo." Dengan menggunakan tagar seperti #PoliticiansNepoBabyNepal dan #NepoBabies, pengguna mengunggah banyak unggahan dan video yang membandingkan kemewahan anak-anak ini dengan kesulitan hidup masyarakat Nepal, menghasilkan jutaan tayangan.
Para pengunjuk rasa muda dengan marah mempertanyakan, "Rakyat biasa menderita kemiskinan, sementara anak-anak orang kaya dan berkuasa menikmati pemborosan." Misalnya, Shrinkhala Khatiwada, mantan ratu kecantikan (dan putri mantan menteri kesehatan), sering membanggakan perjalanan internasional dan gaya hidup mewahnya di dunia maya, yang mendorong para pengunjuk rasa untuk melabelinya sebagai simbol privilese elit. Selama protes, rumah keluarganya bahkan dibakar, yang menyoroti kemarahan publik yang semakin besar. Senada dengan itu, penyanyi Shivana Shrestha, menantu mantan Perdana Menteri Deuba, sering mengunggah video yang memamerkan rumah-rumah mewah dan busana mewahnya. Cucu mantan Perdana Menteri Prachanda memicu kehebohan dengan memamerkan tas-tas desainer senilai ratusan ribu rupee. Ketika video dan foto-foto ini menjadi viral, opini publik di seluruh negeri mengecam elit politik dan anak-anak mereka, dan para pengunjuk rasa bahkan menyerbu dan membakar rumah-rumah beberapa keluarga berkuasa.
Hal ini menunjukkan bahwa korupsi dan nepotisme telah menyebabkan generasi muda memiliki kebencian yang mendalam terhadap kelas penguasa, dan larangan media sosial hanyalah percikan yang memicu ledakan amarah mereka.
Penyalahgunaan dana publik dan ketidakseimbangan ekonomi
Selain pamer kekayaan yang berlebihan oleh para penguasa, sumber kebencian lain yang terus-menerus di kalangan pemuda Nepal adalah salah urus dana publik oleh pemerintah dan kemiskinan yang meluas. Selama bertahun-tahun, banyak skandal telah muncul, dengan hanya sedikit pejabat yang dimintai pertanggungjawaban, yang semakin memicu ketidakpuasan publik terhadap kekebalan hukum yang dinikmati oleh para penguasa. Misalnya, setidaknya $71 juta dana publik digelapkan dari proyek Bandara Internasional Pokhara, sementara skandal lain mengungkap politisi yang mengambil untung dari penjualan kuota pemukiman kembali ilegal kepada pengungsi Bhutan. Namun, kasus-kasus korupsi besar ini tidak ditindaklanjuti, memperkuat persepsi publik tentang kurangnya akuntabilitas di kalangan politikus.
Lebih lanjut, kesulitan ekonomi Nepal telah memperparah frustrasi kaum mudanya. Statistik resmi menunjukkan tingkat pengangguran kaum muda mencapai lebih dari 20%, salah satu yang tertinggi di Asia Selatan. Karena kurangnya lapangan kerja domestik dan prospek karier, sekitar sepertiga PDB negara ini bergantung pada remitansi. Banyak kaum muda terpaksa bermigrasi untuk bekerja atau terlibat dalam ekonomi informal, sementara mereka yang bertahan hidup menghadapi upah rendah dan pengangguran. Namun, mereka yang berkuasa dituduh menyalurkan sumber daya untuk kepentingan pribadi, yang mengakibatkan kurangnya investasi kronis di bidang pendidikan, lapangan kerja, dan bidang-bidang lainnya, sehingga generasi muda kehilangan harapan.
Krisis Tata Kelola dan Kurangnya Akuntabilitas Politik
Meningkatnya protes yang cepat di Nepal bermula dari krisis tata kelola yang berkepanjangan: kurangnya transparansi dan kepemimpinan yang kurang akuntabilitas, yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sejak penghapusan monarki pada tahun 2008, pemerintahan yang berganti-ganti jarang berakhir dengan baik—13 kali hanya dalam 15 tahun, menciptakan periode ketidakstabilan politik yang bergejolak. Selama dekade terakhir, tiga pria lanjut usia—Oli, Deuba, dan Prachanda—telah berganti-ganti sebagai perdana menteri, dengan total masa jabatan sebanyak 12 kali. Namun, pergantian kekuasaan ini gagal menghasilkan reformasi yang substantif. Sebaliknya, kemunculan kembali orang yang sama justru memicu rumor nepotisme dan korupsi.
Generasi muda semakin jenuh dengan aturan main politik, meyakini bahwa kepentingan pribadi berkolusi semata-mata demi keuntungan pribadi, dan bahwa petahana memonopoli sumber daya politik dan ekonomi melalui nepotisme, yang menyebabkan stagnasi pembangunan nasional. Defisit kepercayaan ini khususnya terasa di kalangan Generasi Z, yang praktis telah kehilangan kepercayaan pada elit politik tradisional dan sangat menuntut model pemerintahan baru serta perubahan kepemimpinan antargenerasi.
Seiring berlanjutnya protes, tuntutan publik meningkat, dari kecaman terhadap korupsi dan tuntutan pemulihan kebebasan sosial, hingga tuntutan pengunduran diri kepemimpinan politik dan bahkan perubahan lanskap politik. Para demonstran meneriakkan slogan-slogan yang menuntut pemerintah bertanggung jawab dan memberikan penjelasan, bahkan banyak yang menganjurkan pembubaran pemerintahan saat ini dan pembentukan kembali tim kepemimpinan sementara untuk mengatasi masalah yang masih ada secara tuntas.
Protes Generasi Z di Nepal meningkat dan Black September
Akibat interaksi faktor-faktor ini, protes Generasi Z di Nepal meningkat menjadi salah satu kerusuhan paling serius dalam beberapa dekade. Dimulai pada 8 September, sejumlah besar pelajar, mengenakan seragam sekolah dan universitas, turun ke jalan, berkumpul di berbagai kota, termasuk ibu kota, Kathmandu, meneriakkan slogan-slogan antikorupsi. Demonstrasi yang awalnya damai, dengan cepat berubah tak terkendali ketika polisi berusaha membubarkan mereka dengan paksa. Para demonstran muda menerobos barisan dan membakar sejumlah gedung pemerintahan dan kediaman politik, termasuk Gedung Parlemen, kediaman menteri, dan bahkan hotel-hotel mewah di kawasan wisata. Gedung Administrasi New Nadupal, simbol kekuatan nasional, dilalap api, sebuah pemandangan yang menggemparkan bangsa.
Polisi menggunakan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan bahkan peluru tajam dalam upaya meredam protes, yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Hingga 11 September, puluhan pengunjuk rasa tewas dan lebih dari seribu orang terluka. Pertumpahan darah para pengunjuk rasa muda memicu kemarahan yang lebih besar, dan gelombang protes menyebar lebih jauh ke seluruh negeri.
Di bawah tekanan yang luar biasa, partai yang berkuasa akhirnya menyerah. Pada sore hari tanggal 9 September, Perdana Menteri Oli, yang baru menjabat selama enam bulan, mengumumkan pengunduran dirinya, bersama beberapa menteri kabinetnya. Setelah berita itu, jalanan Kathmandu dipenuhi sorak sorai, "Kita menang!". Anak-anak muda, mengibarkan bendera nasional dan menentang jam malam, turun ke jalan untuk merayakan dan berduka atas rekan-rekan mereka yang gugur. Namun, pengunduran diri perdana menteri tidak serta merta meredakan protes. Banyak pengunjuk rasa bersikeras bahwa perjuangan mereka tidak akan berhenti sampai pemerintahan baru yang benar-benar bertanggung jawab dan jujur terbentuk.
Parlemen Nepal saat ini lumpuh, meninggalkan kekosongan kekuasaan dalam pemerintahan, memaksa militer memberlakukan jam malam di ibu kota dan wilayah lainnya demi menjaga ketertiban umum. Kerusuhan ini, yang telah mengguncang negara kecil di Asia Selatan ini dan dijuluki "September Hitam" oleh media, merupakan kerusuhan sosial terparah yang melanda Nepal sejak berakhirnya perang saudara. Kerusuhan ini menyoroti kekecewaan mendalam generasi muda terhadap sistem politik lama dan tekad mereka untuk memberantas korupsi dan membangun kembali tatanan baru yang transparan dan adil.
Kesimpulan
Singkatnya, pemberontakan Generasi Z di Nepal bukanlah peristiwa yang tiba-tiba dan impulsif, melainkan akibat tak terelakkan dari permasalahan struktural yang telah berlangsung lama. Di permukaan, larangan media sosial menyulut api protes, tetapi lebih dalam lagi, akumulasi korupsi, nepotisme, dan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar selama bertahun-tahun merupakan pemicu utama. Melalui gerakan ini, kaum muda mengekspresikan ketidakpuasan mereka yang mendalam terhadap disfungsi pemerintah dan kurangnya akuntabilitas, serta menuntut perubahan. Seruan mereka menunjukkan keinginan generasi muda akan transparansi, keadilan, dan kesempatan, serta menjadi pengingat bagi mereka yang berkuasa: jika mereka gagal mengatasi permasalahan institusional dan menanggapi tuntutan rakyat, percikan sekecil apa pun dapat memicu badai yang lebih besar. Pemberontakan pemuda di kaki bukit Himalaya ini sedang menulis babak baru bagi demokrasi dan masa depan Nepal, sekaligus menjadi seruan bagi negara-negara lain bahwa reformasi keadilan dan akuntabilitas antargenerasi tidak dapat diabaikan.